Korban Iklan

“Grant Hill minum Sprite… Grant Hill minum Sprite… Grant Hill minum Sprite.” Suara narator iklan terdengar jelas. Angle kamera memperlihatkan sang bintang NBA sedang meneguk Sprite dengan latar belakang terik sinar matahari. Keringat bercucuran membasahi bajunya. Penonton diajak berfokus pada kaleng Sprite yang menempel pada bibir Grant Hill. Saya menatap iklan Sprite dengan penuh kekaguman. Sepertinya, iklan tersebut berhasil menghipnotis seorang anak berumur 12 tahun.

Setiap kali saya menonton iklan tersebut, saya benar – benar ingin minum Sprite. Kadang saya minum Sprite keesokan harinya. Tapi selalu berakhir dengan kekecewaan. Kenapa? Karena saya tidak suka sensasi saat minuman berkarbonasi tersebut memasuki kerongkongan. Rasa haus pun tidak kunjung hilang. Saya tidak nyaman. Hal itu terjadi berulang kali. Saya nonton iklan Sprite, saya minum Sprite, saya kecewa. Hal serupa juga terjadi ketika saya nonton iklan Coca Cola. Sampai akhirnya tiga tahun berlalu, saat saya mengambil kesimpulan, saya tidak suka Sprite dan Coca Cola.

Sepertinya saya yang saat itu masih remaja benar – benar menjadi ‘korban’ iklan. Tidak heran, kenapa pelaku industri periklanan dibayar mahal. Bayangkan. Butuh waktu tiga tahun untuk saya, memutuskan bahwa saya tidak suka Sprite dan Coca Cola. Setelah tiga tahun, saya tidak terpengaruh lagi pada iklan kedua produk minuman tersebut. Iklan tersebut diulang terus setiap hari. Hey.. bukankah sesuatu yang diulang terus menerus adalah bagian dari hipnosis?

Ekspresi yang kurang lebih sama tampak pada anak saya, Taqiya, sejak berumur 2 tahun (sekarang 3 tahun). Taqiya menatap dengan ekspresi ‘mupeng’ ketika saya makan sesuatu, bahkan ketika dia tidak lapar. Padahal saya ‘nggak ngapa-ngapain’. Saya makan seperti biasa. Saya pun menangkap kesempatan ini untuk memperkenalkan makanan yang sehat. Saya berusaha memperlihatkan bahwa makan sayur dan buah itu enak, makan nasi itu enak, makan ayam itu enak. Tapi saya berprinsip saya tidak boleh bohong. Saya sendiri harus ‘doyan’ makanan sehat terlebih dahulu. Saya tidak boleh memperlihatkan sayur itu enak, kalau saya tidak suka sayur.

“Dek. Ibu makan sayur sop nih. Enak.. pake ayam lo. Mmmm… enak.” Saya berusaha mendapatkan perhatian Taqiya sambil duduk di sebelahnya. Saya memasang ekspresi wajar, tidak lebay (lebay disini sangat subjektif, bisa saja ada yang bilang ekspresi saya lebay :p). Saat Taqiya melihat ke arah saya, saya pun memasukkan makanan ke dalam mulut dan mengunyahnya. “Tuh kan enak…” Tentu ‘aksi’ saya tidak selalu seperti itu. Kadang saya pun hanya diam saja, tanpa kalimat persuasif apapun. Saya hanya memastikan makanan yang saya makan dan ekspresi saya cukup jelas terlihat oleh Taqiya.

Bagaimana respon Taqiya? Bermacam – macam. Dari cuek saja, melirik piring saya sebentar, memperhatikan wajah saya yang tampak menikmati makanan, sampai bertanya “Ibu makan apa sih? Enak?”. Tapi bukan itu tujuan utama saya. Tujuan utama saya adalah membentuk image bahwa makanan sehat itu enak. Image ini terbentuk bukan sehari dua hari, tapi perlu waktu lama dan perlu ‘iklan’ yang terus diulang. Proses tersebut perlu koordinasi fungsi kelima indra, terutama indra penglihatan. Saya masih ingat bagaimana ekspresi Grant Hill begitu menikmati setiap tegukan Sprite. Saya harap Taqiya juga selalu mengingat ekspresi saya ketika makan makanan sehat. Pembentukan image tersebut juga harus didukung dengan kalimat positif di semua kesempatan. Saya tidak pernah mengatakan bahwa anak saya susah makan, anak saya tidak suka sayur, dan kalimat sejenisnya. Kalimat yang biasa digunakan untuk bahan ngobrol dengan ibu – ibu lain. Saya lebih suka mengatakan, “akhir – akhir ini Taqiya lagi seneng makan roti.” Daripada “Taqiya ngga doyan nasi.” Atau “menu makan Taqiya harus bervariasi.” Daripada “anak saya susah makan.”

muchpics.net

sumber: http://www.muchpics.net

Hasilnya? Sekarang Taqiya suka sayur sop (udah dari dulu sih). Kadang makan wortel rebus seperti makan biskuit bentuk stick. Taqiya suka dengan jus pear dan mangga. Kadang makan 2 buah jeruk sekaligus. Beberapa hari lalu Taqiya sudah mau mencoba makan sawi hijau, walaupun kemudian dilepeh. Ah… gapapa. At least dia mencoba. Mencoba berarti tertarik. Kadang ketika makan sayur Taqiya bilang, “aku bisa bunda!!” sambil mengacungkan jarinya tinggi – tinggi. Maksud Taqiya adalah setelah makan makanan sehat, dia menjadi pintar dan bisa menjawab pertanyaan bunda (guru) nya di PAUD.

Sepertinya saya akan terus membangun image ini pada anak, suami, dan keluarga saya (mungkin juga orang lain di luar keluarga saya). Tapi InsyaAllah berakhir dengan kesehatan, bukan kekecewaan. Walaupun pada praktiknya akan tetap ada pasang surut. Tidak selalu anak saya suka makan makanan sehat. Ada kalanya satu hari dia tidak mau makan sayur. Tapi tak apa. At least saya terus berusaha. Dan saya yakin, sesuatu menjadi biasa karena dibiasakan.

Semoga bermanfaat ^_^

Leave a comment